Senin, 26 April 2010

Bidadari Terakhir

Rembulan masih berdiri kokoh di langit. Bintang-gemintang pun menebar senyum ke jalan-jalan. Seperti ada keceriaan malam ini. Begitu juga Sri, perempuan yang sedang menunggu suaminya datang membawakan kabar gembira. Atau menanti kebahagiaan dari lelaki yang menjadi pujaan segera pulang.
Sudah dua bulan kabar ini ditunggu-tunggu Sri. Sebab Sri telah lama tidak mendapati suaminya. Sri tidak merasakan kehangatan di malam-malamnya sampai harus sendiri dalam keheningan. Menyepi dalam kamar lalu tertidur pulas.
Dan setiap hari pun Sri berdoa agar suaminya bisa segera menjaganya. Yang memberinya kasih sayang, cinta dan perhatian. Karena itu Sri selalu menyebut nama suaminya dalam tidur atau dalam rakaat yang dihadapkan kepada sang khaliq.
Sri pun ingat bahwa lelaki yang dinikahinya adalah lelaki yang setia. Tidak pernah tinggalkan tanggungjawab.
“Apa kau akan selalu setia kepadaku?” Tanya Sri dengan mendekap suaminya erat-erat.
“Iya, aku pasti setia.” Jawab lelaki berkumis tebal. Suami Sri.
Kata-kata itu yang selalu terngiang-ngiang di pikiran Sri. Hatinya berbunga-bunga. Meski tiada kesepian yang membuat diri senang. Tapi Sri masih terobati oleh kalung yang melingkar di lehernya. Ada gambar Sri dan suaminya. Sri menciumnya setiap kali mau tidur dan itu yang telah menghibur dirinya kalau sedang kangen.
Perempuan seperti Sri terlalu tangguh menjaga keimanannya. Juga menjaga cinta yang telah dibangun dengan ketulusan. Walaupun ada kerikil yang mengganggu, tetaplah Sri menjadi perempuan yang tidak mudah goyang oleh gelimang lelaki lain yang mengejarnya.
Sebagaimana janji yang diucapkan berdua, demi menjalin keharmonisan maka kesetiaan akan selalu menjadi yang terdepan. Biarpun jarak memutus keutuhan badan. Sri mampu membendung lelaki lain yang mencoba hinggap ke hatinya. Tiada yang pernah sekuat dan setegar ini selain Sri.
Di rumah yang isinya hanya Sri dan anak perempuannya, Sri menghidupkan hari-harinya dengan mengasuh anak, menghantarnya ke sekolah, mencukupi kebutuhan sendiri dan anak. Bila malam jum’at datang, Sri pergi ke masjid lalu membaca tahlil untuk orangtua, mengaji ayat suci. Setelah itu, mengirimkan doa keselamatan kepada suami.
Sri menunggu suaminya datang di depan pintu rumah. Ia membuka jendela, menyiapkan minuman kesukaan suami, teh manis dan pisang goreng. Dan Sri menyuruh anaknya untuk memakai pakaian rapi. Sebab ayahnya akan datang, kembali ke rumah dengan membawa hadiah.
“Pakai yang ini, Nak! Kamu terlihat lebih cantik,” ujar Sri. Anaknya mengangguk tanda menerima pilihan baju dari Sri.
“Ayah seperti aku ‘kan, Bu?” Tanya anaknya dengan memandang Sri. Sri tersenyum.
“Kamu mirip ayahmu. Ibu bangga melahirkanmu.”
Waktu menunjukkan angka sembilan malam. Di rumah Sri sudah banyak keluarga yang hendak menyambut kedatangan suaminya. Sri terharu. Suaminya dikenang oleh orang-orang.
Mata Sri berbinar-binar. Sesekali ia mencium anaknya yang sedang dalam gendongannya. Merasa ada yang dinanti-nanti dan baru menjejakkan kaki di rumah sendiri. Serasa tidak sanggup diungkapkan dengan kata-kata.
“Kau telah ditunggu oleh orang banyak. Cepatlah pulang!” ungkap Sri dalam hati. Saking menggebu-gebunya Sri merapikan ruang tamu dengan hiasan meriah. Seperti sang pujangga mempersiapkan segala sesuatu dengan baik ketika hendak bertemu dengan pujaan hati.
“Aku tidak pernah sebahagia ini menunggumu, sayang.” Bisik Sri memandangi foto pernikahannya.
Kalau saja foto itu bisa berucap, maka Sri akan mencurahkan kebahagiaan yang sedang dialaminya. Begitu juga dinding putih rumahnya. Sri, perempuan yang setia menunggu suaminya kembali ke rumah.
Sejak suaminya menerima tawaran menjadi tenaga kerja kasar pembangunan di luar negeri. Otomatis segala sesuatunya terpisahkan. Apapun yang menjadi kegelisahan hanya bisa ditumpahkan di saat ponselnya berdering dan ucapan sayang suami terdengar sayup-sayup di telinga.
“Aku baik-baik saja di sini. Kau jaga kesehatan ya, anak kita merindukanmu.” Bibir Sri terbata-bata mengucapkan kalimat itu.
Dulu, Sri tak bisa merelakan kepergian suami. Sri tak mengizinkan suami jauh darinya, sementara anaknya mulai tumbuh besar. Sedangkan kebutuhan pokok melilit diri Sri sampai tak kuasa tutup lobang ke sana kemari.
“Meskipun aku jauh, ini demi anak kita!”
“Tapi bagaimana denganku?”
“Aku tetap menyayangimu dan kaulah bidadari terakhirku.” Pelukan suami kepada Sri justru meluluhkannya.
Sri melihat anaknya yang tertidur pulas. Hingga Sri harus melepaskan suami kerja dan jauh dari keluarga. Ini ujian yang sungguh berat bagi Sri. Tidak jarang cibiran silih berganti mencecar dirinya.
Perempuan yang ditinggal suami akan selalu mencari lelaki dan berkhianat dengan sebuah janji. Bukan hanya cibiran tapi juga makian bertubi-tubi merasuk ke dalam hati Sri.
“Udahlah Sri, suamimu juga pasti memiliki perempuan lain di sana. Kau jangan percaya lelaki. Seperti suamiku yang menikah lagi,” curhat Bu Fani, tetangga desa.
“Benar Bu Sri. Cowokku saja belum lama merantau, tiba-tiba kudengar ia mempunyai dua istri dan satu pacar. Aku tertipu janji manis. Mungkin Bu Sri harus mikir juga, gak mungkin suaminya ibu setia beneran sama ibu.” Sambung Rasti, perempuan paruh baya yang merasa tertipu oleh lelaki yang dicintainya.
“Dia berbeda. Dia sempurna buatku. Aku berdoa dia juga akan setia.” Jawab Sri lalu meninggalkan pergumulan mereka di warung.
Sri tabah. Sri mendengar tapi Sri tetap sabar. Sri lebih percaya kepada suaminya daripada omongan ibu-ibu tetangga yang berkoar-koar. Ini karena ucapan janji setia saling percaya.
Inilah cinta. Biarpun ada gelombang cinta Sri mampu bertahan. Tidak mudah memegang teguh kepercayaan bertahun-tahun. Lewat diri Sri cinta dapat diperjuangkan. Mungkin begitulah kira-kira cinta melebihi segalanya.
Malam mulai menjulang. Sebentar lagi subuh berkumandang. Sri mendendangkan lagu cinta. Sementara orang-orang sudah pulang karena larut malam. Sri masih mengungkap segenap kerinduan dan rasa yang terbantahkan. Tanpa terasa Sri meneteskan airmata.
Di altar rumah yang sesak dengan penantian. Sri mematikan lampu di setiap ruang. Sedangkan suaminya belum juga mau memunculkan bayang-bayang. Sri hendak gusar tapi ia menahan. Sri mengeratkan kedua tangan. Lalu menengadah ke langit sambil memanjatkan doa persembahan.
Sri terduduk di altar rumah. memandang jauh ke arah pematang. Pengharapan yang selalu dinanti lama tiba-tiba mengusik diamnya.
“Sri, hari ini kau dapat surat. Namanya Taufan Anjasmara. Nama suamimu ‘kan?” tanya Pak Pos. “Benar. Itu nama suamiku.” Deg. Dada Sri berdegup kencang.
Sri belum berlalu dari bayang wajah lelaki yang lima tahun telah menikahinya. Bagi Sri, surat ini adalah ungkapan yang memecahkan kalbunya. Yang tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya.
Cerita tentang kebahagiaan terbalas dengan api bara. Di mata Sri ada luka yang menganga seperti pijaran larva gunung. Teringat di saat yang sama, mengenggam tangan lelaki itu sampai tak mampu untuk dilepas. Namun kini hatinya terlanjur mengeras. Surat itu jawaban bagi Sri yang menunggu lelaki yang berstatus suami.
Suami Sri memilih perempuan lagi. Lelaki itu menyudahi rindu Sri dengan kehadiran perempuan di sampingnya sehari-hari. Meskipun di akhir kalimat dalam surat tertuliskan, Aku tetap menyayangimu dan kaulah bidadari terakhirku, Sri.
Malang, 2010