Sabtu, 13 Maret 2010

Jangan Kau Larang Aku

jangan melarang aku terjun ke duniamu

walaupun aku terjerumus ke lubang yang tabu

bersikaplah seolah aku sahabatmu

dan aku memuliakan martabatmu

aku bilang, jangan melarang

kenapa kamu panggil aku dalang

aku bukan wayangmu

tak perlu melarangku dan tersedu-sedu

karena aku hanya seorang pemburu

dan mangsaku hanya larik-larik pada secarik kertas abu-abu

kalau kau melarangku

semua orang akan tahu perlawananmu

meskipun kau lebih elegan dari pembantu

ini wilayahku dan kau melarangku

kau menculik mimpiku yang aku buat tahun lalu

yang pernah tersimpan di dalam jiwaku

kau menuduhku dan pelan-pelan membunuhku

semestinya aku tak membangunkanmu

dari persoalan yang mengalihkan kesadaranmu

daripada kau merampas hak asasiku

biarkan aku menjadi manusia baru

di antara pasar, masjid, televisi, telepon dan remang-remang lampu

Malang, 2010

Aku Lebih Dekat

lebih dekat dari angin

bila aku mengucapkan rindu

lebih dekat dari api

bila aku ketam cintamu

lebih dekat dari air

bila aku labuh ke hatimu

tapi malam ini aku lebih dekat

ke pucuk nafasmu

meski kau ke langit

tak memberiku kata sebait

sampai aku terbaring menahan sakit

Malang, 2010

Tuan Malaikat

Malam yang rintik-rintiknya oleh hujan. Malam yang bisingnya karena kendaraan di jalanan. Dan cahaya rembulan tak menampakkan sinarnya di ranting-ranting pepohonan. Aku masih berdiri menatap ke arah rumah yang sisa-sisanya hanya kayu-kayu seperti belulang tulang.

Aku mulai mengejar burung-burung yang sayup-sayup tak lagi rebah di rumah awan. Ada tangan-tangan yang bingung dan termenung melihat genteng-genteng rumah yang rontok. Nyala api semakin menggurita. Sejuta kisah mengambang di udara, meneruskan perjalanan ke utara. Sebuah kisah yang dahulu menjadi kebanggaan keluarga. Kisah yang tak henti dibacakan oleh anak-anak di rumah oleh ibunya. Kisah yang mencoba melukis mimpi-mimpi tentang sungai-sungai dan mutiaranya.

Ketika semua kesibukan menghias di dinding dan di tangga-tangga kucing bermain ular tangga, aku mengusung bola ke belakang rumah, lalu dengan riangnya anak-anak menjemputku sampai terbahak-bahak, meminta bola melempar bola. Sampai riangnya memecahkan matahari di langit.

“Lucu ya, Pa!” ujar Bintang. Anak pertama yang meminta memetikkan daun-daun sebelum kuncupnya keluar dari pohonnya. Senyumnya melepaskan penatku seperti batu-batu di pundak.

Sesekali Bintang mengajakku ke rumah kecil yang dibuatnya dari kertas-kertas karton. Ia ceritakan ada empat orang yang bermukim di dalamnya. Setiap malamnya pun selalu menanamkan kata-kata di setiap piring-piring yang dimakan. Dan bunga-bunga yang tersimpan di pot rumah, ia panjatkan doa-doa. Juga ada ceracau burung kepodang di reranting pohon kejora.

Ia memberitahuku tentang gunung gemunung di dekat rumahnya tak lagi rindang, banyak orang yang telah menjarah bebatuan di dalamnya. Aku mengangguk tiap kali ia bercerita. Aku tercenung ketika usianya menginjak kepala dua. Ia lemparkan semua kisahnya dengan tangis memilin. Pilu. Seusai rumahnya menjelma sobekan-sobekan kering mirip reranting patah dari pohon sembari mengucurkan airmata bening.

Bintang juga pernah mengucapkan satu kalimat, ia ingin membangun kembali rumahnya. Aku kembali mengangguk dengan bangganya. Ya, semakin terharu. Sebab ia melawan robohnya rumah dari kertas, sampai tak mau lepas.

“Mereka tidak salah kan, Pa!” keluhnya mengusap airmata. Ya, mereka tidak salah apa-apa. Tapi aku hanya mengatakan seadanya. Ia tidak suka. Ia menuju ke kamar tergesa-gesa. Lantas ia rebahkan ke kasur mengurai mimpi-mimpi untuk rumahnya. Sampai sulitnya ia mau membongkar, lelahpun ia perjuangkan.

Kalau Bintang dengan rumahnya. Sementara Mutiara dengan lorong lautnya yang dibuat dari karang-karang dan terumbu biru. Soleknya seperti hotel-hotel berbintang lima. Banyak yang mendamba untuk dibeli, karena lorong itu memiliki keunikan yang tidak dipunyai oleh siapapun di dunia. Dunia Mutiara adalah dunia cakrawala di dalam laut. Dialah anak kedua yang pernah lahir dari rahim kemuliaan. Salah satu yang disayang oleh Tuhan.

Seperti biasanya, aku tak berujar dan tak bicara sampai ia mengencangkan kalimat yang benar-benar doa. Sesungguhnya aku saja yang tak ingin meluluhkan lilin di bibirnya. Ia mau melanjutkan menata tiara-tiara kecil di tiap dinding.

“Kalau pakai ini bagus ya, Pa!” sambutnya ke arahku. Aku tersenyum. Ia menempel tiara dengan hati-hati. Mutiara seperti ibunya yang sering mengucapkan kalimat-kalimat cinta. Yang sering diusapnya ke dalam hati. Biasanya membisikkan ada cinta di lorong laut yang membiru. Akhirnya ia membenamkan hatinya ke dalam lautan.

Ia pernah membisikkan kalau di dalam lorong lautnya ada gadis yang terenggut oleh kebiadaban manusia-manusia kota yang tiap kali menjarah gadis-gadis serupa dirinya. Mungkin gadis yang diceritakannya adalah salah satu yang dilukis di setiap dinding-dinding itu. Aku menitikkan airmata yang ke sekian kalinya. Ia membawaku ke dasar-dasar luka.

Mutiara juga yang membesarkan hatiku untuk tabah. Ia selalu begitu, tiap malam ia panjangkan ceritanya tentang rembulan yang tidur di pangkuannya. Mutiara seanggun namanya, ibunya pun demikian.

Perempuan yang mengajariku untuk mengaji bersama anak-anak pedalaman. Agar keangkuhanku dengan seseorang terhapus dalam-dalam. Aku bertemu dengan sosok perempuan yang tiba-tiba membuatku menenggelamkan wajahku dalam lumpur rahmat. Sudah seribu wajah perempuan yang kutanami kekejian, tapi perempuan terakhir inilah yang tahu kalau aku adalah sosok yang tak mudah dibelenggu.

“Lihat! Anakmu sudah bisa membangun rumahnya,” tunjuknya kepada kedua anakku. Bintang dan Mutiara. Aku dingin. Aku pergi dari kursi yang menjorok ke barat. Melihat senja sebelum maghrib tiba.

“Mereka sudah bisa menentukan nasibnya! Dari pada mereka meminta dibangunkan rumah,” ketusku sambil memandang perempuan itu sesaat lalu pergi.

“Begini saja, buatkanlah telaga untukku. Karena ada tamu malam ini yang ingin mandi bersamaku.” Tidak saja kuucapkan kegelisahan tapi aku mau ada telaga yang menggenangi rumahku ini malam ini.

“Sempurnakan saja kamar mandi di belakang rumah. Besok ada petugas yang menggali rumah ini untuk dibuat telaga.” Ujar perempuan yang sudah menemaniku puluhan tahun.

Dan aku membasuh wajahku berkali-kali dengan air sambil membaca syair-syair. Entahlah, tiba-tiba dating Bintang dan Mutiara membawa kisah-kisahnya di dalam tas masing-masing.

“Kami akan membacakan kisah dari Tuan Malaikat untuk Papa!” ujarnya berdua.

“Bagaimana kalian bisa mengenal Tuan Malaikat? Sedang yang mengetahui perselingkuhanku dengan Tuan Malaikat hanya aku dan Tuhan, kenapa mereka mengenalinya sebegitu dekat.” Gumamku dalam hati.

Aku yakin pasti ada orang yang memberitahu mereka. Aku tidak lagi salah prasangka bahwa ibunya yang memberitahu. Sebab kemarin, ibunya telah menemani Bintang dan Mutiara untuk tidur membangunkan kembali rumah dan menancapkan tiang-tiang bagi lorong di dalam laut.

Kehadiran Tuan Malaikat di rumah ini yang mulanya membawa kebahagiaan. Setiap hari Tuan Malaikat memberikan Bintang replica rumah-rumah indah. Sedangkan Mutiara diberi liontin-liontin kecil. Mereka berdua senang. Lalu Tuan Malaikat selalu memandangiku tiap aku pulang dari kerja.

Perempuan yang menemaniku sejak dahulu, tidak mengerti apa-apa. Hanya saja ia waspada. Dengan tingkah Tuan Malaikat yang sering minta sesuatu kepadaku dengan manjanya membuat perempuan disampingku gerah. Lalu berkesimpulan kalau aku adalah bagian pesona dari Tuan Malaikat.

Tuan Malaikat telah membawaku ke alam berbeda. Bintang dan Mutiara menyayanginya seperti ibunya. Di matanya, Tuan Malaikat adalah sosok yang tidak pernah memberikan keburukan. Tuan Malaikat telah melekat di dalam hatinya.

Perempuan itu mengusikku di dalam tidur, katanya aku lebih baik menceraikannya. Karena Tuan Malaikat jauh lebih indah daripada dirinya. Aku bilang saja, kalau Tuan Malaikat hanya tamuku malam ini. Ia tidak akan kembali untuk selamanya.

Meskipun telah kubilang dengan sejujur-jujurnya. Ia bersikap tidak peduli. Kalau ingin bermain dengan Bintang dan Mutiara harus memilih dia. Kalau ingin dibangunkan telaga lebih baik memilih Tuan Malaikat.

Ia menutup pintu rumah, dan membiarkanku pergi dari hadapannya. Tak sampai beberapa langkah, ledakan tak terduga menyembul sampai atap rumah. Serentak tiga orang hilang.

Bintang dan Mutiara beserta ibunya telah hangus. Dan Tuan Malaikat terlambat datang. Aku berhenti mengucapkan ada kiamat di rumahku. Tapi aku masih mencintai Bintang dan Mutiara juga ibunya agar lebih beraroma. Bukan Tuan Malaikat karena ingkar janjinya.

Malang, 2009