Suatu tragedi yang menggelitik para civitas akademika baru-baru ini, mahasiswa tidak suka menulis dan mahasiswa lari dari kegiatan tulis-menulis. Bagi mahasiswa, sebenarnya menulis merupakan kewajiban yang tidak boleh dilepasnya. Mahasiswa wajib membaca buku-buku prinsip kuliah dan dituliskannya dalam sebuah buku. Memang itu yang seharusnya, menjadikan mahasiswa memiliki ideologi, perspektif baru, menambah perbendaharaan kata di setiap harinya.
Mahasiswa tidak mungkin mengaku diri pribadi dari civitas akademika, jika budaya menulisnya sudah sirna. Dan semua itu sangtlah menyedihkan, mestinya mahasiswa bisa produktif melakukan seni tulis-menulis. Agar isi kuliahnya tidak semata-mata datang, duduk, diam, dan pulang. Yang mengarah pada kecenderungan mahasiswa tidak mampu mengembangkan dirinya pada kegiatan secara lisan maupun tulisan.
Menulis tidak membutuhkan kecakapan yang serba kompleks. Menulis merupakan seni yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Bahkan lebih mudah daripada mendapatkan predikat kesarjanaan. Pun mahasiswa tidak mungkin duduk di bangku kuliah selain berpegang pada tulisan, dan mahasiswa juga harus membuat laporan perkuliahan, seperti membuat analisa dari jurnal, pembuatan makalah juga berangkat dari kegiatan penulisan.
Generasi mahasiswa yang lahir di era globalisasi mayoritas lebih senang mengikuti hegemoni kehidupan urban. Konsumtif, dan hidup di dunia hiburan, mall, café, dan selalu mengedepankan lifestyle ala urban. Belum lagi, tindakan anarkistis dalam demonstrasi yang marak dilakukan oleh mahasiswa. Yang kemudian, mengabaikan keinginannya untuk berpegang pada prinsip-prinsip seorang mahasiswa. Padahal, kegiatan sehari-hari dari mahasiswa tidak pernah lepas dari tulis-menulis.
Berbeda dengan generasi mahasiswa di era orde baru dan era reformasi, mereka menyuarakan suara seorang mahasiswa justru melewati kegiatan penulisan. Labelisasi mahasiswa sebagai agen of change merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan. Sosok mahasiswa seperti Gie, mahasiswa Universitas Indonesia adalah seorang mahasiswa yang memiliki naluri kepenulisan paling berkesan. Dia menggapai titik keemasan sebagai mahasiswa di masanya melalui peliputan peristiwa yang terjadi dan dituangkan dalam tulisan secara utuh. (komprehensif).
Perilaku dua generasi mahasiswa yang berbeda ini menunjukkan adanya kebutuhan khusus membongkar phobia seorang mahasiswa dalam kepenulisan. Bukan lagi pada pemberian metode-metode penulisan di setiap mata kuliah yang monoton dan tidak efesien, melainkan mengajak mahasiswa untuk mengimplementasikan budaya menulis dimanapun dan kapanpun.
Selama ini, yang sering ditemui adalah mahasiswa masih berpedoman pada cara-cara instan, copy paste tulisan dari internet, literatur buku, atau plagiasi dari tulisan orang lain. Bisa mendapat predikat sarjana tapi tidak bisa menulis, dan tidak memiliki soft skill yang mumpuni. Atau sekedar mengisi absensi lalu tidak mampu mengembangkan diri.
Bila diperhatikan seksama, banyaknya perguruan tinggi di Indonesia dan dijumlahkan dengan mahasiswa yang aktif menulis dan berprestasi dalam penulisan, seperti lolos seleksi (terpublikasi) di media massa, memenangi perlombaan karya tulis ilmiah, ternyata masih tergambar bentangan jarak yang sungguh amat jauh dari impian.
Produktivitas kepenulisan dari kalangan mahasiswa masih terbatas, sudut pandang mahasiswa untuk melakukan kegiatan tersebut sepertinya masih malu-malu. Bisanya mengeluhkan keadaan yang dibatasi oleh sekat-sekat yang tak menentu. Alasan-alasan pun keluar seribu jumlahnya. Sehingga mahasiswa tidak lagi memahami betapa pentingnya menulis dan betapa prestige-nya membudayakan menulis.
Di UIN Maliki, pemberdayaan mahasiswa untuk mencintai dan suka menulis juga minim dan belum maksimal. Tujuh ribuan mahasiswa yang aktif di perkuliahan, namun mahasiswa yang sungguh-sungguh menulis hanya satu banding lima puluh tiap mahasiswa. Gejala ini memang sudah diresahkan oleh kalangan mahasiswa penulis beberapa tahun yang lalu saat sarasehan Temu Penulis UIN Maliki yang diselenggarakan oleh Unit Penerbitan UIN Malang Press dalam rangka Dies Natalies ke-5 UIN Maliki bulan Juni 2009. Minat mahasiswa dan ghirah mahasiswa dalam kepenulisan belum melekat pada diri mahasiswa. Notabene mahasiswa masih melakoni tradisi kepenulisan apabila ada tugas dari dosen, dan ini sudah mendarah daging di pikiran masing-masing mahasiswa.
Rektor UIN Maliki, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo mengatakan bahwa jangan-jangan belum disadari bahwa tugas perguruan tinggi bukan saja mengantarkan mahasiswa jadi sarjana, melainkan dalam proses itu harus ada kegiatan pengembangan pemikiran, kajian mendalam dan penelitian. Hasilnya kemudian dirupakan dalam bentuk karya ilmiah yang diterbitkan dalam bentuk buku.
Pramoedya Ananta Toer juga mengatakan bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Betapa abadinya menulis sampai Imam Al-Ghazali menyebutkan “Bila engkau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”
Oleh karena itu, tradisi menulis di kalangan mahasiswa harus dipopulerkan, tidak semata mengembangkan saja, melainkan menjadikan mahasiswa mencintai kegiatan kepenulisan seutuhnya. Adapun pemberdayaannya, pertama, mengubah mainstream mahasiswa. Jika selama ini mahasiswa tidak suka menulis karena membayangkan bagaimana sulitnya menulis, maka paradigma tersebut harus diubah, mulai sekarang!
Kedua, dosen menjunjung tinggi mahasiswa berprestasi dalam tulis-menulis. Dosen-dosen pengampu mengajak setiap mahasiswa saling fastabiqul khoirot untuk menulis di media massa. Sehingga ada rasa optimisme mahasiswa untuk berkompetisi dalam kepenulisan. Ketiga, birokrasi kampus mengajarkan dan mengapresiasi mahasiswanya yang berprestasi di bidang kepenulisan dengan mengagendakan penganugrahan mahasiswa yang produktif menulis di media massa tiap tahunnya agar mahasiswa yang lain termotivasi untuk lebih giat menulis.
Jika tiga pemberdayaan ini diaplikasikan maka akan terjadi peledakan mahasiswa penulis yang begitu besar di UIN Maliki khususnya. Karena itu, upaya ini perlu ada tanggapan dan pemahaman yang selaras dari pihak-pihak yang bersangkutan, baik dari mahasiswa, dosen, stakeholder lainnya. Agar kualitas mahasiswa dengan menulis meningkat, dan writing culture ala Prof. Imam dapat memberikan sumbangan nyata bagi mahasiswa dan dosen-dosen pengampu dalam pengembangannya keilmuan di masa yang akan datang.
Seperti Hernowo bilang, tulislah secara spontan dengan menggunakan kata ganti orang pertama, “Aku…” lantas mengalirlah. Maka jangan bilang mahasiswa bisa menulis kalau belum pernah praktek menulis dengan istiqomah. Mari generasi mahasiswa untuk tidak phobia menulis lagi, lagi dan lagi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar