Dalam era globalisasi ini perempuan Madura perlahan-lahan mulai mengubah prinsip-prinsip sebuah tradisi. Bukan semata-mata alasan ingin mengumbar bentuk kemewahan dari perempuan Madura, seperti yang dirasakan sekarang ini. Diyakini ada sebuah pesan yang hendak disuarakan oleh perempuan Madura. Kultur budaya lokal telah tercampuri budaya barat. Modernitas tampil dengan membikin perlawanan terhadap perilaku perempuan Madura.
Bentuk-bentuk perlawanan itu, perempuan Madura menelanjangi dirinya, memberontak keluar dari pusara budaya nenek moyangnya. Dan salah satunya dengan melancong ke luar Madura menjadi mahasiswi di perguruan tinggi seperti ITS (Institute Teknologi Surabaya), Universitas Brawijaya, Malang, Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Perempuan Madura seperti memboikot prinsip-prinsip tradisi tersebut. Rasa keingintahuan, memakai lifestyle ala perempuan Jakarta atau Jakarta oriented merupakan penyebab perempuan Madura sudah memodernisasi Maduranya sendiri.
Dulu, tradisi yang lekat dijunjung tinggi adalah perempuan Madura tidak perlu mengecap pendidikan terlalu tinggi, disadari karena ujung-ujungnya perempuan Madura menjadi pelaku di kasur, dapur, dan sumur. Namun, perempuan Madura modern membuang jauh-jauh status tersebut. Karena itu semua dinilai tidak cocok dengan pencapaian tujuan dari perempuan Madura yang modernis. Jelas, bahwa perempuan Madura tidak ingin dianggap perempuan kolot, bodoh, dan membosankan. Bagi mereka, di luar Madura jauh lebih impresif, agresif, dan menjadi sumber inspirasi untuk berkembang. Tidak melulu dijadikan bagian dari kekuasaan lelaki dan ketakadilan budaya.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Entah seseorang kaya atau miskin, atau dalam keadaan ekonomis yang sedang, dari segi martabatnya tidak ada perbedaan dan akibatnya ia tidak boleh diperlakukan dengan cara yang berbeda. (K. Bertens, 2000:72).
Diakui secara moralitas, ada dampak positif yang timbul dari perlawanan perempuan Madura ketika melanjutkan pendidikannya. Tentunya, mereka mencapai kesuksesan gelar akademis, mendapat pengalaman yang berbeda, dan berkualitas di ranah intelektualitas.
Adapun dampaak negatifnya, ditinjau dari fashionable atau cara berpakaian perempuan Madura tidak sejalan dengan pelaksanaan norma keagamaan. Perumpamaannya, gaya perempuan Madura sekarang ini telah tercampuri gaya perempuan Jakarta, rok mini, sepatu high heels, rambut terburai tanpa kerudung, baju ukuran kecil semakin membanjiri perempuan Madura yang tidak mampu ditolak keberadaannya.
Apa yang dianggap sebagai serangan teknologi modern? Banyaknya perempuan Madura menghilangkan identitas ke-Madura-annya ketika menduduki tanah di luar Madura. Seolah-olah perempuan Madura yang hijrah ke luar Madura merasa malu, dan takut terhadap cemoohan teman-teman.
Dengan hal itu, sebenarnya perempuan Madura juga telah meninggalkan upacara tradisi fase kehidupan, dimana di tiap upacara itu menandakan bahwasanya manusia itu telah layak memasuki fase kehidupan selanjutnya. Contohnya, sebelum melakukan hubungan intim seharusnya melakukan pernikahan. Tapi dalam konteks perempuan Madura sekarang etika yang dibangun melebihi batas dari tembok keagamaan. Sehingga married by accident atau kehamilan pra nikah menjadi kompetisi antar perempuan Madura.
Kenapa perempuan Madura lebih suka bertelanjang ria ke dalam pusara budaya barat? Bagaimana membendung perempuan Madura yang memodernisasi Madura sebagai Batam-nya Jawa Timur? Dalam budaya dan etika di Madura, tidak ada perempuan yang tak beretika dalam bentuk apapun. Sebab timbulnya perlawanan ini karena perempuan Madura belum menemukan perguruan tinggi yang layak dan kompetitif.
Sejauh ini, perempuan Madura tertarik kepada perguruan tinggi yang maju. Akses kebutuhan dan keinginan yang mudah didapatkan. Tingkat ekonomisnya dapat dijangkau. Segalanya terpenuhi, yang menggambarkan sisi keperempuanannya.
Modernisasi Madura
Madura boleh dimodernisasi tapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip tradisi. Madura menjadi pulau garam, pulau pendidikan, pulau para ulama’, pulau pesantren dan pulau budaya. Di Madura ini tidak ada lagi diskriminasi pendidikan. Dan Madura harus mendirikan lembaga pendidikan yang setara perguruan tinggi di kota Surabaya, Malang, dan Yogyakarta. Apakah perempuan Madura semuanya menginginkan demikian? Jika perguruan tinggi itu terwujud, dalam kondisi tersebut, perempuan Madura akan jauh lebih salafi, menjunjung prinsip-prinsip tradisi, dan perempuan Madura akan terkontrol etikanya dan masyarakat akan mendukung anak-anak perempuannya menjadi sarjana akademisi.
Jika nantinya perempuan Madura harus memilih. Paling tidak, perempuan Madura tidak hanya pelaku di kasur, memasak di dapur, atau mengambil air di sumur. Sebab sesuai pendidikan dan keterampilan yang telah dimiliki menjadikan dirinya sebagai perempuan yang benar-benar mampu menempatkan posisi, ketika potensi itu tetap dikembangkan menjadi lebih baik lagi. Demikian sebuah pesan moral dari perempuan Madura saat ini. (*)
tulisan ini telah dipublikasikan di Radar Madura (Jawa Pos Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar