Rabu, 16 Juni 2010

Bukan Gula Bukan Semut (Membangun Gula Sebagai Komoditi Kompetitif bagi Indonesia Pasca ACFTA)

Suatu hari, Ibu Aisyah pergi ke pasar untuk membeli sembako buat kebutuhan sehari-hari keluarga. Di pasar, Ibu Aisyah ingin berbelanja sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Seperti beras, sayur-sayuran, minyak, gula, dan sembako lainnya.
Ketika itu, Ibu Aisyah telah membeli semua kebutuhan sehari-hari keluarga tapi ada yang tidak terbeli yaitu gula. Ibu Aisyah tidak bisa membeli gula di pasar sewaktu itu.
Sesampainya di rumah, suami Ibu Aisyah pun bertanya “Kenapa untuk membeli gula saja tidak bisa? Padahal tidak ada masalah dengan harga gula?”
“Bukan gitu, Pak! Harga gula sekarang mahal. Per kilogram saja 10.500 rupiah, tidak mungkin Ibu membeli gula sementara kebutuhan yang lainnya belum terbeli. Jadinya Ibu tunda saja dulu. Kurang tahu sampai kapan!” tutur Ibu Aisyah.
***
Saya berpikir, pemerintah atau stakeholder yang seharusnya mendistribusikan gula dan memberikan harga pasaran gula dengan harga yang sesuai justru diketahui telah menimbun gula entah kemana. Dengan itu, semakin meyakinkan saya bahwa kelangkaan gula bukan disebabkan oleh siapapun terkecuali orang-orang yang ingin mencari keuntungan secara pribadi. Ulah para distributor gula di pelbagai antarprovinsi seperti semut-semut nakal. Yang merasa bahwa gula dikelola untuk dinikmati semata-mata mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Keberadaan gula dijadikan sebuah komoditi yang menghasilkan kekayaan masing-masing tidak untuk kepentingan masyarakat yang semestinya.
Saya yakin, ketika kongkalikong di dalam penggelapan gula digalakkan sebenarnya telah menyengsarakan bangsa Indonesia sendiri. Terutama bagi mereka yang berpenghasilan kecil dan menengah. Dan stakeholder yang berperan perihal gula ini telah menata diri untuk membikin masyarakat kelimpungan. Sehingga membuat masyarakat lebih terabaikan.
Pergerakan harga gula yang terus meningkat dari awal tahun 2010 sungguh telah mempengaruhi pola konsumsi sehari-hari. Penggunaan gula dikurangi. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 3 Mareti 2010 bahwasanya 71,8 persen responden mengatakan bahwa harga gula sudah tidak lagi terjangkau dan mempengaruhi konsumsi gula sehari-hari. Karena gula menjadi salah satu komoditi yang paling dibutuhkan sehari-hari. Tentunya kenaikan harga gula berdampak negatif terhadap psikologis masyarakat. Masyarakat mengurangi konsumsi gula, masyarakat menghemat pembiayaan pada gula.
Sementara itu, ada kemungkinan bentuk-bentuk mafia gula terjadi. Sebab ketika ditimbun pun tidak banyak yang mengetahui kemana gula itu beredar dan dibawa kemana. Dapat kita saksikan bahwa pemerintah provinsi Jawa Timur tidak mengetahui secara pasti kemana 49.000 ton gula yang hilang dari gudang-gudang dalam delapan hari terakhir (Kompas, 08/1/2010). Sedangkan gula impor perlahan-lahan menaikkan harga gula di pasaran.
Jelas, ketika mafia gula merajalela dan terus menerus meneror kehidupan sehari-hari kita dalam mengonsumsi. Yang lagi-lagi bersamaan dengan mencuatnya isu KKN global pada perekonomian Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini membuktikan bahwa dengan munculnya fenomena krisis gula terjadi di Indonesia mengakibatkan konsumsi gula sehari-hari terganggu secara serius.
Yang menjadikan emosional saya secara tiba-tiba: apakah masyarakat miskin akan selalu dibiarkan mengonsumsi harga gula mahal sementara pemerintah abai terhadap kondisi mereka? Yang jelas, hari ini kita perlu mempertegas diri dan mengatakan bahwa musuh utama kita yakni mafia gula dan sikap abai pemerintah terhadap kebijakan harga gula di pasar.
Oleh karena itu, yang paling mendasar problematika ini disebabkan karena carut marutnya manajemen Dinas Perindustrian dan Perdagangan antarprovinsi di seluruh Indonesia di dalam mendistribusikan gula serta kurang mengontrol stok gula di gudang. Lebih-lebih ketiadaan profesionalisme kinerja dalam mencegah adanya gula impor tanpa memprioritaskan pada gula lokal di bawah manajemen yang efektif dan efisien.
Dengan demikian, perlu ada resutrukturisasi terhadap manajemen Dinas Perindustrian dan Perdagangan antarkabupaten/kota dan antarprovinsi. Terutama di masing-masing distributor besar gula. Harga gula harus ada keterbukaan, tidak menaikkan harga gula secara sepihak. Distributor gula harus mengetahui dampak manfaat dan mashlahah terhadap masyarakat daripada mementingkan kekayaan pribadi, yang sebentar saja bisa memperkaya diri tapi ketika tertangkap tindak pidana korupsi maka penjara adalah ganjaran dan dosanya terhadap bangsa dan negara terabadikan dalam tinta hitam sejarah negeri Indonesia. Perlunya tanggungjawab dan transparansi terhadap harga gula harus menjadi bagian dari restrukturisasi manajemen dan distributor gula agar supaya komoditi gula mampu membangun komoditi yang kompetitif pasca ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement).
***
Dan beberapa bulan kemudian, ketika Ibu Aisyah pergi ke pasar sebagaimana untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. Ibu Aisyah berbelanja dengan hati riang. Sumringah dan begitu cinta.
Ibu Aisyah sudah bisa membeli seluruh kebutuhan keluarga. Ada beras, sayur-sayuran, minyak, gula dan sembako lainnya. Ibu Aisyah mampu membeli gula dengan harga eceran murah karena gula lokal. Sebab ini ditimbulkan oleh adanya restrukturisasi manajemen dan distributor gula yang terjalin dengan pengembangan sebaik mungkin.
Ibu Aisyah datang. Suami Ibu Aisyah pun takjub melihat Ibu Aisyah yang tersenyum sendiri. Seperti menyunggingkan senyum kepada matahari di pagi hari. “Kok Ibu senyum-senyum sendiri, ada apa ya?” Tanya suami Ibu Aisyah.
“Jelaslah Pak! Ibu sudah bisa membeli gula untuk konsumsi, harga gula sekarang lebih murah dari bulan-bulan yang lalu. Ibu senang. Akhirnya Ibu bisa membuat kue kesukaan Bapak.” Jawab Ibu Aisyah sambil berlalu ke dapur.
Akankah kebahagiaan Ibu Aisyah dapat dimiliki oleh masyarakat lainnya? Sebab bukan gula bukan semut yang memberi kesejahteraan untuk kita. Tapi kebijakan pemerintah terhadap gula yang berpihak kepada masyarakat yang turut senantiasa menggerakkan perekonomian pada negeri Indonesia ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar