Rabu, 16 Juni 2010

Sastra Merakyat

Setelah memperingati Hari Puisi tanggal 28 April 2009, rasanya masih ada yang perlu dipertanyakan akan kemanakah sastra selanjutnya? Kemana Sastrawan-Sastrawan Indonesia melabuhkan Sastra Indonesia? Pernyataan bernada kritik di antara beberapa penikmat sastra seringkali terlontar. Mungkin Sastra Indonesia telah mati.

Terkadang sastra tidak lagi menjadi kegemaran masyarakat umum, utamanya siswa dan mahasiswa yang notabene telah belajar Sastra Indonesia di bangku pendidikan. Padahal sastra bukanlah sesuatu yang sakral dan sulit untuk kita pahami. Adakalanya penilaian masyarakat awam yaitu Sastrawan-Sastrawan kita dipandang tidak memasyarakatkan karya-karyanya sampai ke penjuru desa sekalipun. Sehingga nafas Sastra Indonesia masih jauh dari keterasingan di mata masyarakat.

Di Malang, komunitas-komunitas Sastra sudah menjamur untuk kalangan mahasiswa. Mendirikan komunitas yang hanya sekedar berdiri, sangat lazim bagi mahasiswa-mahasiswa Malang. Banyak komunitas sastra baru seumur jagung memilih asal bunyi. Namun eksistensinya hanya seujung jari. Mula-mula berdiri lalu beberapa bulan berikutnya mati.

Beberapa tahun yang lalu, komunitas sastra sudah unjuk gigi. Diskusi, publikasi sastra, rutinitas sastra berjalan. Berlanjut ke tahun-tahun berikutnya nilai-nilai sastra mulai terkikis. Sastra bukan lagi menjadi kegemaran bagi mahasiswa-mahasiswa. Komunitas-komunitas sastra yang ada di antaranya, Tinta Langit, Pramoedya Ananta Toer dan beberapa komunitas lainnya.

Namun lagi-lagi kita hanya mendapatkan komunitas sastra tersebut tenggelam begitu saja. Tak ada kabar apapun tentang bagaimana kelanjutan sastra tersebut. Kemudian, semua anggota komunitas lebih memilih beraktifitas selain dari sastra. Itulah tradisi masa kini.

Kita wajib menyadari akan kebenaran bahwa Sastra Indonesia memerlukan adanya pembaharuan dan pencerahan. Yaitu Sastra Indonesia baru yang terlahir dari ijtihad dan jihad nafs atau berani mempertaruhkan jiwa untuk sastra. Sebab bermula dari kesungguhan itulah sastra dapat kita bumikan di tanah pertiwi.

Oleh karena itu, lewat keprihatinan dan kegelisahan yang muncul tersebut terlahir komunitas sastra yang mengangkat sosok Chairil Anwar sebagai kelanjutan perjuangan sastra yang terbuang dahulu. KomuniTas Sastra Parkir atau KTSP merupakan ijtihad nafs dari seluruh insan mahasiswa pecinta sastra.

Dengan terbitnya KTSP, cinta akan sastra diharapkan bisa membumi di kalangan masyarakat umum. Karena KTSP merupakan sebuah komunitas yang mengukuhkan diri menjadi komunitas yang turut merakyatkan sastra, menanamkan kepada seluruh masyarakat awam untuk selalu menikmati sastra. Tugas-tugas itulah yang akan diemban oleh KTSP.

Tugas komunitas tersebut ke depannya belum selesai. Banyak pekerjaan rumah untuk menumbuhkan cinta sastra. []

sumber; http://www.surya.co.id/2009/05/13/sastra-merakyat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar